Golonganini lebih memfokuskan diri terhadap hal-hal yang berkaitan dengan masalah ketuhanan. Al Ghazali juga memiliki 3 kritik utama terhadap pemikiran filsafat barat yang dianggap bagian dari perbuatan kekafiran, diantaranya: 1. Kepercayaan alam semesta bersifat kadim. Beberapa filsuf barat menyatakan, alam semesta ini sudah ada sejak duluTidak selamanya hamba Allah SWT akan selamat dari godaan setan. Dalam kitabnya, al-Kasf wa Al-Tibyan fi Ghurur al-Khalq Ajma'in Menyingkap Aspek-aspek Ketertipuan Seluruh Makhluk, Al-Ghazali menyebutkan empat kelompok manusia yang tertipu. Keempat kelompok manusia itu adalah ulama atau cendikiawan, ahli ibadah, hartawan, dan golongan ahli tasawuf. Mereka itu tertipu karena ibadahnya. 1. Ulama atau Cendekiawan Menurut al-Ghazali, banyak sekali golongan ulama atau cendekiawan yang tertipu. Di antaranya, mereka yang merasa ilmu-ilmu syariah dan aqliyah yang dimiliki telah mapan cukup. ''Mereka mendalaminya dan menyibukkan diri mereka dengan ilmu-ilmu tersebut, namun mereka lupa pada dirinya sendiri sehingga tidak menjaga dan mengontrol anggota tubuh mereka dari perbuatan maksiat.'' Selain itu, ketertipuan para ulama atau cendekiawan ini juga dikarenakan kelalaian mereka untuk senantiasa melakukan amal saleh. Mereka ini, kata al-Ghazali, tertipu dan teperdaya oleh ilmu yang mereka miliki. Mereka mengira bahwa dirinya telah mendapatkan kedudukan di sisi Allah. Mereka mengira bahwa dengan ilmu itu telah mencapai tingkatan tertinggi Lebih lanjut al-Ghazali dalam kitabnya menjelaskan, orang-orang yang masuk dalam kelompok ini adalah orang-orang yang dihinggapi perasaan cinta dunia dan diri mereka sendiri serta mencari kesenangan yang semu. Selain itu, mereka yang tertipu adalah orang yang merasa ilmu dan amal lahiriahnya telah mapan, lalu meninggalkan bentuk kemaksiatan lahir, namun mereka lupa akan batin dan hatinya. Mereka tidak menghapuskan sifat tercela dan tidak terpuji dari dalam hatinya, seperti sombong, ria pamer, dengki, gila pangkat, gila jabatan, gila kehormatan, suka popularitas, dan menjelek-jelekkan kelompok lain. 2. Golongan Ahli Ibadah Golongan berikutnya yang tertipu, kata al-Ghazali, adalah golongan ahli ibadah. Mereka tertipu karena shalatnya, bacaan Alqurannya, hajinya, jihadnya, kezuhudannya, amal ibadah sunnahnya, dan lain sebagainya. Dalam kelompok ini, lanjut al-Ghazali, terdapat pula mereka yang terlalu berlebih-lebihan dalam hal ibadah hingga melewati pemborosan. Misalnya, ragu-ragu dalam berwudu, ragu akan kebersihan air yang digunakan, berpandangan air yang digunakan sudah bercampur dengan air yang tidak suci, banyak najis atau hadas, dan lainnya. Mereka memperberat urusan dalam hal ibadah. Tetapi, meringankan dalam hal yang haram. Misalnya, menggunakan barang yang jelas keharamannya, namun enggan meninggalkannya. 3. Golongan Hartawan Dalam kelompok hartawan, ada beberapa kelompok yang tertipu. Menurut al-Ghazali, mereka adalah orang yang giat membangun masjid, membangun sekolah, tempat penampungan fakir miskin, panti jompo dan anak yatim, jembatan, tangki air, dan semua amalan yang tampak bagi orang banyak. Mereka dengan bangga mencatatkan diri mereka di batu-batu prasasti agar nama mereka dikenang dan peninggalannya dikenang walau sudah meninggal dunia. Selanjutnya, kelompok hartawan yang tertipu adalah mereka yang memperoleh harta dengan halal, lalu menghindarkan diri dari perbuatan yang haram, kemudian menafkahkannya untuk pembangunan masjid. Padahal, tujuannya adalah untuk pamer ria dan sum'ah mencari perhatian serta pujian. Lalu, mereka yang tertipu dalam kelompok ini adalah mereka yang menafkahkan hartanya untuk fakir miskin, penampungan anak yatim, dan panti jompo dengan mengadakan perayaan. 4. Golongan Ahli Tasawuf Golongan selanjutnya yang tertipu, kata Imam al-Ghazali, adalah golongan ahli tasawuf. Dan, kebanyakan mereka muncul pada zaman ini. Mereka yang tertipu adalah yang menyerupakan diri mereka dengan cara berpakaian para ahli tasawuf, cara berpikir dan penampilan, perkataan, sopan santun, gaya bahasa, dan tutur kata. Mereka juga tertipu dengan cara bersikap, mendengar, bersuci, shalat, duduk di atas sajadah sambil menundukkan kepala, bersuara rendah ketika berbicara, dan lain sebagainya. sumber AntaraBACA JUGA Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Klik di Sini KarakteristikPendidikan Islam Menurut Al-Ghozali. a. Perilaku. Menurut Al-Ghazali sebuah perilaku terjadi karena peran dari Junud al-Qalb atau tentara hati. Dalam diri manusia terdapat dua kelompok Junud al-Qalb, yaitu yang bersifat fisik berupa anggota tubuh yang berperan sebagia alat dan yang bersifat psikis.
JIC – Syeikh Imam al-Ghazali atau bernama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali ath-Thusi asy-Syafii adalah ulama produktif. Tidak kurang 228 kitab telah ditulisnya, meliputi berbagai disiplin ilmu; tasawuf, fikih, teologi, logika, hingga filsafat. Sang Hujjatul Islam julukan ini diberikan karena kemampuan daya ingat yang kuat dan bijak dalam berhujjah ini sangat dihormati di dua dunia Islam yaitu Saljuk dan Abbasiyah, yang merupakan pusat kebesaran Islam. Al Ghazali pernah membagi manusia menjadi empat 4 golongan; Pertama, Rojulun Yadri wa Yadri Annahu Yadri Seseorang yang Tahu berilmu, dan dia Tahu kalau dirinya Tahu. Orang ini bisa disebut alim = mengetahui. Kepada orang ini yang harus kita lakukan adalah mengikutinya. Apalagi kalau kita masih termasuk dalam golongan orang yang awam, yang masih butuh banyak diajari, maka sudah seharusnya kita mencari orang yang seperti ini, duduk bersama dengannya akan menjadi pengobat hati. “Ini adalah jenis manusia yang paling baik. Jenis manusia yang memiliki kemapanan ilmu, dan dia tahu kalau dirinya itu berilmu, maka ia menggunakan ilmunya. Ia berusaha semaksimal mungkin agar ilmunya benar-benar bermanfaat bagi dirinya, orang sekitarnya, dan bahkan bagi seluruh umat manusia. Manusia jenis ini adalah manusia unggul. Manusia yang sukses dunia dan akhirat,” ujarnya. Kedua, Rojulun Yadri wa Laa Yadri Annahu Yadri Seseorang yang Tahu berilmu, tapi dia Tidak Tahu kalau dirinya Tahu. Untuk model ini, bolehlah kita sebut dia seumpama orang yang tengah tertidur. Sikap kita kepadanya membangunkan dia. Manusia yang memiliki ilmu dan kecakapan, tapi dia tidak pernah menyadari kalau dirinya memiliki ilmu dan kecakapan. Manusia jenis ini sering kita jumpai di sekeliling kita. Terkadang kita menemukan orang yang sebenarnya memiliki potensi yang luar biasa, tapi ia tidak tahu kalau memiliki potensi. Karena keberadaan dia seakan gak berguna, selama dia belum bangun manusia ini sukses di dunia tapi rugi di akhirat. Ketiga, Rojulun Laa Yadri wa Yadri Annahu Laa Yadri Seseorang yang tidak tahu tidak atau belum berilmu, tapi dia tahu alias sadar diri kalau dia tidak tahu. Menurut Imam Ghazali, jenis manusia ini masih tergolong baik. Sebab, ini jenis manusia yang bisa menyadari kekurangannnya. Ia bisa mengintropeksi dirinya dan bisa menempatkan dirinya di tempat yang sepantasnya. Karena dia tahu dirinya tidak berilmu, maka dia belajar. Dengan belajar itu, sangat diharapkan suatu saat dia bisa berilmu dan tahu kalau dirinya berilmu. Manusia seperti ini sengsara di dunia tapi bahagia di akhirat. Keempat, Rojulun Laa Yadri wa Laa Yadri Annahu Laa Yadri Seseorang yang Tidak Tahu tidak berilmu, dan dia Tidak Tahu kalau dirinya Tidak Tahu. Menurut Imam Ghazali, inilah adalah jenis manusia yang paling buruk. Ini jenis manusia yang selalu merasa mengerti, selalu merasa tahu, selalu merasa memiliki ilmu, padahal ia tidak tahu apa-apa. Repotnya manusia jenis seperti ini susah disadarkan, kalau diingatkan ia akan membantah sebab ia merasa tahu atau merasa lebih tahu. Jenis manusia seperti ini, paling susah dicari kebaikannya. Manusia seperti ini dinilai tidak sukses di dunia, juga merugi di akhirat. Untuk itu mari kita intropeksi diri masing-masing, di kelompak manakah kita berada. Semoga Bermanfaat. SumberKenaliDua Golongan Yang Mempengaruhi Kendali Manusia. Rahasia dibalik teks al-Quran bagi kalangan sufi –ahli tasawuf- nampaknya tidak akan pernah pudar, dan akan terus melahirkan makna bathiniyah untuk menciptakan jiwa manusia yang suci. Untuk mencapai jiwa yang suci, manusia harus mengetahui elemen yang ada di dalam dirinya, di antaranya Berpasangan-pasangan adalah bagian dari ajaran syariat. Manusia diciptakan berpasang-pasangan agar dapat melanggengkan keturunan sesuai dengan tuntunan syariat agama Islam. Tetapi tentu saja dalam memilih pasangan hidup, Islam memberikan tuntunan. Imam Al-Ghazali menyebutkan delapan kriteria yang perlu diperhatikan dalam memilih pasangan. Imam Al-Ghazali menyebutkan delapan hal ini agar akad perkawinan menjadi langgeng dan kebahagiaan perkawinan terwujud. Imam Al-Ghazali menyebutkan religiusitas/keagamaan dan akhlak pada dua poin pertama. Hal ini menunjukkan bahwa dua poin tersebut merupakan faktor penting yang patut diperhatikan mengingat perkawinan tidak hanya berisi jalinan hubungan di dunia, tetapi juga di akhirat. أما الخصال المطيبة للعيش التي لا بد من مراعاتها في المرأة ليدوم العقد وتتوفر مقاصده ثمانية الدين والخلق والحسن وخفة المهر والولادة والبكارة والنسب وأن لا تكون قرابة قريبة Artinya, “Adapun hal-hal menyenangkan kehidupan pasangan rumah tangga yang harus diperhatikan pada perempuan agar akad perkawinan menjadi langgeng dan tujuan perkawinan terpenuhi berjumlah 8 hal yaitu ketaatan pada agama atau religiusitas, akhlak, kecantikan, keringanan mahar, kesuburan, status keperawanan, nasab, dan bukan kerabat dekat,” Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, [Beirut, Darul Fikr 2015 M], juz II, halaman 43. Tanpa menafikan atau meremehkan poin lainnya, agama/religiusitas dan akhlak mendapat tempat yang cukup penting mengingat urgensinya yang cukup tinggi dalam kehidupan rumah tangga kelak. Agama menempati poin pertama sebagaimana hadits nabi yang sangat populer terkait kriteria calon pasangan. Perempuan salihah akan membantu ketenangan hati suami. Kalau tidak salehah, tentu perempuan tersebut akan menjadi ujian bagi kehidupan rumah tangganya. إِنَّ الْمَرْأَةَ تُنْكَحُ لَدِينِهَا، وَمَالِهَا، وَجَمَالِهَا، فَعَلَيْكَ بِذَاتِ الدِّينِ، تَرِبَتْ يَدَاكَ Artinya, “Perempuan dinikahi karena agama, harta, dan keelokannya. Pilihlah karena agamanya. Celakalah kamu kalau tidak agamanya itu,” HR Muslim, At-Tirmidzi, An-Nasai, dan Ahmad. Tentu saja delapan poin ini bukan sesuatu yang mutlak dan absolut bagi semua orang. Tidak semua orang setuju dengan delapan hal yang disebutkan di atas. Tetapi semua orang bersepakat pada sebagian poin di atas, misalnya soal religiusitas atau akhlaknya. Dengan kata lain, setiap orang berhak memiliki kebahagiannya masing-masing sehingga setiap orang memiliki rumusan sendiri dalam memilih calon pasangannya. Sebagian orang merasa nyaman memilih pasangan yang disukainya tanpa mempertimbangkan status keperawanan, nasab, dan kesuburan. Tetapi seyogianya seseorang perlu mempertimbangkan aspek religiusitas dan akhlak pasangan karena keduanya sangat berpengaruh pada kehidupan rumah tangganya ke depan. Delapan poin ini juga tidak hanya berlaku bagi laki-laki dalam memilih pasangan, tetapi juga berlaku sebaliknya. Sumber NU Online
MenurutAl Ghazali, akhlâq adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dan tindak-tanduk dengan mudah dan gampang tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Dalam hal ini, terdapat persamaan antara Imam Al Ghazali, Ibn Maskawaih dan Tusi, bahwa akhlâq harus dimulai dengan pengetahuan tentang
Namalengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Ahmad al-Ghazali al-Thsusi. Ia dilahirkan pada tahun 450 H bertepatan dengan tahun 1058 M di Ghazal, Thus, Provinsi Khurasan, Republik Islam Iran. [6] Sebagaimana telah di nukilkan oleh Ahmad Syafi’i Ma’arif dalam bukunya Peta Bumi Intelektual Muslim di Indonesia bahwa tahun kelahiran al-Ghazali bertepatan Beliaumembicarakan salah satu kata mutiara dalam bahasa Arab dari Imam Al-Ghazali; Bahwa dalam aspek “ilmu”, Imam Al-Ghazali menggolongkan manusia menjadi 4 tipe: 1. Rojulun Yadri wa Yadri Annahu Yadri. Tipe pertama yakni seseorang yang tahu (berilmu), dan dia sadar bahwa dirinya tahu (berilmu). Seorang seperti ini kemudian haruslah diikuti. LI4R.